Pada bulan Juni 2018 ini saya
membaca buku berjudul “The IKEA Edge”
karya Anders Dahlvig. Yup, ini adalah sebuah tulisan dari seorang yang pernah memimpin
IKEA selama 26 tahun, yaitu sebuah perusahaan retail yang menjual produk
peralatan rumah tangga. Saya membeli buku ini di sebuah event buku yaitu Big
Bad Wolf (BBW), kesan saya saat pertama kali membaca buku ini mengingatkan saya
kekaguman terhadap IKEA ketika pertama kali mengunjungi toko IKEA di Alam
Sutera pada tahun 2016 silam. Ketertarikan saya terhadap IKEA terutama karena
IKEA menyediakan produk yang berkualitas dengan harga murah hal ini sesuai
dengan tujuan awal pendirian IKEA yang menginginkan fasilitas atau produk rumah
tangga yang berkualitas tinggi tidak hanya dimiliki kelas menengah atas tetapi
dapat mencapai ke setiap golongan masyarakat.
Saya sendiri sangat kagum dengan
kemampuan manajemen IKEA dalam mengelola perusahaan. Hal ini dapat dilihat
bahwa selama tahun 1999-2009 IKEA dapat meningkatkan pertumbuhan penjualan
rata-rata sebesar 11% per tahun sambil menurunkan harga jual sebesar 20% per
tahun dan tetap memiliki rata-rata margin laba operasi sebesar 10% per tahun
dan bahkan menambah tenaga kerja sebanyak 70.000 orang. Kemampuan manajemen
untuk menurunkan biaya sangat menganggumkan dan hal ini didapat bukan karena
hasil kerja keras satu malam tetapi diusungkan dalam rencana 10 tahunan IKEA.
Prinsip bisnis IKEA sendiri yaitu
menjaga orang-orang yang berbakat dan manajemen yang hebat dan menciptakan lingkungan
kerja yang tidak hanya berorientasi terhadap uang, melainkan bekerja karena
menyukai apa yang mereka kerjakan.
IKEA sendiri telah mengalami banyak
perubahan salah satunya perubahan dari rantai persediaan yang tadinya dari banyak
pemasok dan tidak memiliki pemasok yang memiliki produksi dalam jumlah besar berubah
menjadi membatasi pemasok tertentu dan memiliki perusahaan produksi sendiri yang
digunakan sebagai percontohan pemasok lainnya.
Kekuatan IKEA sendiri tidak hanya
berasal dari kemampuannya untuk menjual produk berkualitas baik dengan harga
murah, melainkan model penjualan yang hanya dapat dilakukan IKEA seperti membangun
toko dengan menampilkan produk dengan model percontohan (IKEA membuat contoh
model ruangan dalam ukuran tertentu dengan skala 1:1) yang memberikan inspirasi
terhadap konsumen. Ditambah IKEA juga memberikan pengalaman berbelanja seperti family outing sehingga pelanggan betah
berlama-lama dalam toko. Tetapi tetap mempertahankan biaya yang rendah.
Yang paling menarik, manajemen
IKEA berkeyakinan bahwa waktu yang tepat dalam berinvestasi adalah ketika
kondisi ekonomi sedang memburuk, sehingga IKEA dapat membeli tanah atau
bangunan dengan harga murah dan menjaga biaya produksi tetap rendah. Strategi
IKEA juga berfokus terhadap kota-kota kecil karena rendahnya kompetisi serta
masih sedikitnya alternatif bagi konsumen.
Dalam buku ini saya belajar
bahwa, sebuah perusahaan retail sangat bergantung pada ekspansi pembukaan toko
baru terutama untuk meningkatkan penjualan. Hal ini membutuhkan biaya modal
yang tidak sedikit serta memiliki risiko yang cukup tinggi apabila pada
negara-negara tertentu terutama pada negara yang memiliki kompetisi retail yang
cukup ketat. Di Indonesia baru terdapat satu toko IKEA yang terletak di Alam
Sutera yang didirikan oleh PT. Hero Supermarket Tbk. (HERO) saya sendiri mau
mencoba untuk menganalisis apakah ada manfaat bagi HERO untuk kedepannya karena
memiliki hak untuk mengelola IKEA di Indonesia yang mungkin akan saya share
pada catatan saya berikutnya.
---
*ini adalah postingan pertama saya tahun ini tentang ringkasan buku menggunakan Bahasa Indonesia, kenapa saya kembali menggunakan bahasa Indonesia? untuk saat ini saya mencoba untuk memahami lebih baik dalam bahasa Indonesia sambil berlatih bahasa inggris lebih baik lagi.